Perjalanan 30 Tahun Al-Mizan: Dari 300 Meter, menjadi 30 Hektar dan 3 Pesantren di Banten

Posted on 25th Oct 2025 at 13:09  by  Ghiyats


Oleh: Ahmad Ghiyats Fawwaz

Mungkin judul diatas bukanlah jumlah yang "wah" bagi sebagian orang. Perjalanan 3 dekade yang panjang, mungkin harusnya sudah lebih dari ini. Ataupun bahasannya hanya sekedar luas tanah pondok. Tapi, tulisan ini adalah refleksi kesyukuran kami bagaimana Al-Mizan, berdiri dan berkembang di atas kaki sendiri, berusaha dengan kemampuan dan kemandirian, tentu sambil meminta bantuan langit, dengan usaha dan do'a yang tidak pernah putus.

Sejak berdiri pada 1993, ayahanda Dr. KH. Anang Azharie Alie selalu bercerita bahwa Al-Mizan ini berdiri sepenuhnya dengan kemandirian, tanpa ada 'donatur' tetap. Walaupun, tidak kami nafikan, alhamdulillah, tetap ada yang membantu, walaupun sifatnya parsial. Beliau selalu menggaungkan "Allahu Razzaq, Allahu Ghaniy" Allah Maha Pemberi Rizki, Allah Maha Kaya. Maka mintalah ke Allah segala urusan dunia ini, termasuk dalam mengembangkan pondok. Ayat suci "ويرزقه من حيث لا يحتسب" itu benar-benar mengakar kuat, dan karena keyakinan dan mujahadah seorang kyai-lah ayat itu benar-benar jadi nyata. Mungkin kalau kita yang orang biasa ini, rasanya agak sulit mencerna bagaimana cara Allah bekerja memberikan kita rizki yang kita butuhkan. Tapi ilmu kyai memanglah berbeda, kita yang masih santri ini hanya bisa berucap 'Subhanallah, MashaAllah..." saat hajat pondok tercukupi, entah dari manapun Allah beri jalannya.

Awal langkah berdirinya Al-Mizan hanya bermodalkan tanah seluas 300 meter persegi, di tengah kota Rangkasbitung. Sebidang tanah milik bapak H. Kustani, ayah dari ibunda Nunung Heriah, yang selalu mendukung perjuangan ayahanda dalam membangun pondok. Santri tahun pertama berjumlah 67 orang, bertambah di tahun kedua 76 orang, dalam 2 tahun sudah memiliki santri 143 orang, dengan tanah yang hanya sekian, tentu menjadi tantangan besar. Tidak mengira kalau Allah akan memberikan rizki santri sebanyak itu, secepat itu. Padahal saat itu, Al-Mizan baru mampu membangun seadanya, dindingnya pun hanya kaleng aspal yang di-gepengkan, ruang kelaspun hanya beratap plastik tanpa dinding, betul-betul sederhana.

Karena kebutuhan yang semakin besar, ayahanda berusaha untuk mencari tanah yang lebih luas. Datanglah seorang H. Madhawi, kepada Kakek kami, H. Kustani menawarkan tanah seluas 1.5 hektar, di tengah hutan Narimbang, yang benar-benar hutan. Bayangkan, jalan hanya setapak selebar 2 meter, penuh lumpur dan becek bila hujan, kendaraan belum bisa masuk, listrik pun belum ada. Kalau manusia secara umum, sepertinya berat pindah ke kawasan seperti ini, apalagi sebelumnya di tengah kota persis. Tapi itulah cara Allah menunjukkan yang terbaik, seperti terdorong kuat, dengan niat tulus ingin berjihad fi sabilillah mengembangkan pesantren dan mendidik para santri, dibelilah tanah tersebut. "Hijrah"-lah santri Al-Mizan dari tengah kota menuju tengah hutan pada 1995. Dengan bangunan alakadarnya, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya.

Paska hijrah ini, gelombang penolakan walisantri muncul, tapi tidak jadi masalah karena masih sama-sama manusia. Belum ada fasilitas maupun listrik, masih bisa diusahakan semampunya. Nah, yang jadi masalah adalah gelombang penolakan dari bangsa jin yang tidak kasat mata. Ternyata, "babat alas" itu memang benar-benar "membabat yang terlihat dan tak terlihat". Mau tidak mau, Al-Mizan, dengan seluruh Kyai, Guru dan Santri harus berhadapan dengan serangan dari bangsa jin selama 3 bulan pertama. Para santri diserang dengan 'kesurupan', 'gangguan' dan lain sebagainya. Ujian yang cukup melelahkan, tapi menguatkan. Rasanya tidak bisa diceritakan dengan detail bagaimana perjuangan awal itu. Yang pasti, cerita ayahanda peristiwa ini betul-betul menguatkan beliau dan guru-guru, bahwa jalan yang ditempuh ini adalah "jihad fi sabilillah" yang sejati. Setelah berbagai cara dan upaya, gangguan tersebut ternyata selesai, saat ayahanda berpasrah dan tawakkal kepada Allah, "Kami sudah lelah ya Allah, aku bertawakkal pada-Mu." Tiba-tiba muncul harum semerbak di kamar beliau. "Ya Allah, pertanda apakah ini?" Saat ayahanda tanyakan kepada seorang sahabat kyai, sambil tersenyum beliau berkata: "InshaaAllah, 'alamatul khair (InshaaAllah, pertanda baik)" Dan hilanglah gangguan-gangguan itu setelah kepasrahan yang penuh kepada Allah.

Ada sebuah cerita, saat perpindahan ini, ayahanda mengundang guru beliau, almaghfurlah KH. Ahmad Rifa'i Arief, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Qolam dan La-Tansa, untuk hadir dan mendo'akan tanah Al-Mizan yang baru dibangun ini. Beliau terkejut saat masuk ke tanah, yang 'jauh dari peradaban manusia', hanya ada kampung kecil, kampung Ancol dengan beberapa KK saja yang menjadi tetangga pondok. Saat kunjungan itu beliau berkata kepada ayahanda: "Untuk mewujudkan Al-Mizan yang berkembang pesat, kamu harus punya jiwa besar!" Kata-kata yang sampai hari ini masih tertanam dalam di sanubari beliau, sebuah pesan, perintah sekaligus motivasi seorang guru kepada muridnya. Menjadi kekuatan do'a yang mengalir dalam setiap gerakan dan usahanya mengembangkan Al-Mizan.

Setelah ujian itu, mulailah menggeliat perkembangan Al-Mizan hingga tahun 2000-an awal, dengan kedatangan guru-guru dari mab'uts Al-Azhar, alumni Syiria, alumni Gontor, yang hadir membantu kyai, semakin menguatkan kualitas keilmuan dan pengajaran di Al-Mizan. Gerakan-gerakan keilmuan, kebahasaan, ekstrakurikuler, pengajian kitab, semua tersistem dengan baik. Jumlah santri melesat hingga 800-an orang, dengan 15 hektar lahan hingga akhir tahun 2010. Saat itu, ayahanda mengundang almaghfurlah, Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor dalam Wisuda Santri Akhir. Di sela-sela kegiatan tersebut, beliau menyampaikan pesan, agar pondok ini dipisah antara putra dan putri. Ayahanda tercenung, disaat berkembangnya pondok ini, arahan dari Kyai Syukri menjadi sebuah tantangan baru, dan juga lompatan besar untuk Al-Mizan andaikan ini terwujud.

Di tahun yang sama, ayahanda berangkat haji. Beliau bermunajat di tanah suci untuk diberikan jalan dan petunjuk atas cita-cita untuk membangun pondok putra dan putri, sesuai dengan arahan dari Kyai Syukri saat itu. Sepulangnya beliau dari ibadah Haji, datanglah tamu yang menawarkan lahan di Cikole, Pandeglang dengan luas 3.5 hektar. Doa beliau seakan diijabah langsung, dibayar kontan. Saat melihat tanah tersebut, dibawah kaki Gunung Karang, dengan kontur tanah pesawahan berundak yang sangat indah, beliau berucap: "Subhaanallah, tabaarakallah." Rasanya 'tersetrum' dengan tanah tersebut. Dibelilah tanah tersebut, dan dalam 2 tahun dibangun sebagai persiapan untuk pemisahan santri putra dan putri.

Dalam proses pembangunan itu, Kyai Syukri kembali berkunjung langsung dan melihat pembangunan Al-Mizan 2 ini, dan beliau berkata sekaligus do'a: "Pondok ini bakal maju." Sambil memandang raut wajah gurunya, ayahanda menyambut dan mengamini doa tersebut dengan penuh keyakinan. Dimulailah perjalanan Al-Mizan 2 Putri pada tahun ajaran 2012-2013, kurang lebih setelah 20 tahun perjalanan Al-Mizan. Berbeda dengan Al-Mizan 1 yang berada ditengah hutan, Al-Mizan 2 justru berada ditengah kota, disisi jalan raya Pandeglang-Labuan. Menjadikannya cukup mencolok ditengah hilir-mudik para pengendara dan masyarakat di Pandeglang. Hingga saat ini, Al-Mizan 2 Putri menjadi kawah candradimuka para putri ummat, yang akan menjadi orang-orang pertama yang mendidik generasi masa depan.

Tanah Pandeglang memanglah subur. Terkenal dengan pesawahan, gunung, dan sumber air panasnya. Faktor terakhir inilah, yang akan menjadi jalan terbukanya Al-Mizan 3. Pada suatu ketika, Ayahanda berkunjung ke Pondok Pesantren La-Tansa Cipanas, beliau diajak oleh pengasuh pondok KH. Adrian Mafatihallah Kariem, anak dari Kyai Rifa'i, untuk mencoba kolam air hangat di rumah beliau yang dialirkan dari sumber air panas dekat pondok. Dalam hati ayahanda bergumam, "Nikmatnya punya sumber air hangat seperti ini. Rasanya di Pandeglang pun banyak tanah yang punya sumber air panas seperti ini." Saat datang ke Cikole, beliau sampaikanlah keinginannya kepada salah seorang karyawan, untuk dicarikan tanah yang ada sumber air panasnya. Seakan Allah ijabah, ditawarkanlah tanah di daerah Banjar, Pandeglang, berjarak 5 km dari Al-Mizan 2 Putri. Sebuah tanah bekas villa yang lama ditinggalkan, dengan puluhan kolam ikan, dan sumber air panas yang mengalir tanpa henti. Lagi-lagi "Subhaanallah..." terucap dari lisan ayahanda. Singkat cerita, dibelilah tanah seluas 3 hektar tersebut pada tahun 2017, dengan jalan yang tidak disangka-sangka.

Lagi-lagi, beliau berfikir, akan digunakan untuk apa tanah ini. Kamipun memberikan masukan kepada beliau, agar tanah Banjar ini dibangun pondok khusus program Tahfidz. Al-Mizan sejak 2007 sudah memiliki kurikulum tahfidz, tapi karena masih tergabung dengan program TMI reguler, sehingga target hafalan 30 juz belum bisa sepenuhnya maksimal. Dengan membangun pondok tersendiri khusus tahfidz, maka program dan kurikulum dapat disusun khusus untuk memenuhi target hafalan para santri Al-Mizan. Setelah 2 tahun perjalanan mempersiapkan, akhirnya pada 2019 dimulailah secara resmi kegiatan pendidikan dan pengajaran di Al-Mizan 3 litahfidzil Qur'an. Allah memberkahi tanah yang indah dengan hamparan sawah, kolam-kolam ikan, dan sumber air panas ini menjadi surga bagi para penghafal Al-Qur'an. Suasana yang sangat mendukung kegiatan mereka yang membutuhkan tempat yang tenang nan syahdu. Membuat siapapun yang masuk kedalamnya menjadi tenang dan nyaman.

Hingga saat ini, dalam perjalanan menuju 32 tahun Al-Mizan di bulan Maret 2025 ini, seperti yang kami tuliskan di judul awal, terhampar tanah 30 hektar yang tersebar di Al-Mizan 1 Rangkasbitung, dan Al-Mizan 2 & 3 di Pandeglang. Dengan seribuan santri dan guru yang sama-sama menimba ilmu, mengemban khidmah, dan berjuang untuk umat dengan pendidikan pesantren. Doakan, semoga Al-Mizan bisa terus berkembang, berkhidmat untuk ummat, dan mendapat curahan keridhaan dan keberkahan dari Allah 'azza wa jalla. Amin.

Tags : profile